MAKALAH FIKIH
TENTANG MURADIF DAN MUSYTARAK
Pembimbing :
Masiyanto,
S.HI.
Penyusun:
Zainur Rohman
MADRASAH ALIYAH AINUL HUDA
SUMBERWARU BANYUPUTIH
SITUBONDO JAWA TIMUR
TAPEL 2017/2018
KATA PENGATAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmatnya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah tentang sistem pemerintahan negara amerika
serikat.Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mempelajari smembantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, mengenai Muradif dan Musytarak
dalam ilmu Fiqh .Harapan saya semoga makalah ini ehingga saya dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini kami akui masih banyak kekurangan.Oleh kerena itu kami harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Kalirejo ,02 Januari 2018
Zainur Rohman
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………………………….i
DAFTAR ISI
……………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
………………………………………………………1
Latar Belakang
…………………………………………………………………..1
Rumusan Masalah
……………………………………………………………….1
Tujuan
……………………………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
……………………………………………………….2
Pengertian Muradif dan
Musytarak ……………………………………………...2
Pengertian Muradif
………………………………………………………………2
Pengertian Musytarak
……………………………………………………………2
Bentuk-bentuk Lafadz
Muradif dan Musytarak ………………………………….2
Contoh Lafadz Muradif
…………………………………………………………..2
Contoh Lafadz Musytarak
………………………………………………………..3
Implikasi Hukum dan
Kaidah-kaidahnya ………………………………………...4
Dilalah Muradif
…………………………………………………………………..4
Dilalah Musytarak
………………………………………………………………..4
KESIMPULAN ………………………………………………………………….5
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………………6
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Untuk dapat memahami al-Quran secara tepat dan efektif maka
merupakan keharusan memahami kaidah kebahasaan terlebih dahulu.Hal ini
mengandung arti, seseorang pengkaji al-Quran harus memahami arti kata, maksud
kalimat hingga apresiasi sastra.Kata adalah seni sehingga dalam memahami kata
harus memahami unsur intrinsik kata itu sendiri.
Sering kali dijumpai dalam al-Qur’an lafadh-lafadh yang
berbeda namun memiliki arti yang sama atau yang disebut muradif, begitu pula
sebaliknya yang disebut Musytarak, Muradif atau mutaradif al-Quran memiliki
arti sinonim atau kata-kata yang searti. Namun dalam pembahasan ini apa yang
dimaksud sebagai mutaradif al-Quran sebenarnya adalah merupakan kata-kata yang
seakan-akan bersinonim namun sebenarnya tidak. Dan inilah maksud istilah yang
terkandung di dalam berbagai literatur.Sedangkan lafadh yang musytarak sering
kita jumpai seiring dengan siyaqul kalam yang mempengaruhi arti dari lafadh
tersebut.
Oleh karena itu makalah ini kami buat guna memahami
aspek-aspek yang terdapat pada muradif dan musytarak, sehingga dapat memahami
al-Qur’an secara mendalam dan tidak terjadi kesalahan dalam memahami ayat-ayat
yang kiranya sulit dipahami.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian
muradif dan musytarak ?
b. Bagaimana bentuk-bentuk lafadh muradif dan musytarak ?
c. Bagaimana implikasi hukum dan kaidah-kaidah lafadh yang muradif dan musytarak ?
b. Bagaimana bentuk-bentuk lafadh muradif dan musytarak ?
c. Bagaimana implikasi hukum dan kaidah-kaidah lafadh yang muradif dan musytarak ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami tentangg
hal-hal yang termasuk dalam pembahasan muradif dan musytarak meliputi
pengertiannya, bentuk-bentuk lafadhnya, implikasi hukum atau dilalahnya, dan
kaidah-kaidah yang menyangkut lafadh muradif dan musytarak.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Muradif dan Musytarak
Menurut KH. Mahfudh Shiddiq (1992:9) yang dimaksud muradif
adalah yang memiliki arti satu, akan tetapi memiliki beberapa lafadh. Sedangkan
yang dimaksud musytarak adalah yang memiliki lafadh satu, akan tetapi memiliki
arti lebih dari satu.
Untuk lebih jelasnya dalam memahami pengertian muradif dan
musytarak, dapat maka kami berikan keterangan sebagai berikut :
a.
Pengertian Muradif
Yang dimaksud muradif ialah kalimah yang lafadznya banyak,
sedangkan artinya sama (sinonim), seperti lafadz al-asad dan al-laiits artinya
singa.
b.
Pengertian
Musytarak
Musytarak ialah lafadz yang digunakan untuk dua arti atau
lebih dengan penggunaan yang bermacam-macam. Dalam definisi lain yaitu lafadz
yang digunakan dua makna yang berbeda atau lebih . Seperti lafadh quruu’ yang
memiliki arti berdeda, ada yang mengartikan sucian, dan haidh-an.
Lafadh musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang yang penunjuknya
kepada makna itu dengan jalan bergantian, tidak sekaligus.Misalnya lafadh ‘ain
yang diciptakan untuk beberapa makna.Yakni mata untuk melihat, mata air, dan
lain sebagainya.Bisa dikatakan penggunaan kepada arti-arti tersebut adalah
tidak sekaligus (Yahya, 1986:254).
2.
Bentuk-bentuk lafadz Muradif dan
Musytarak
Lafadh musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang yang
penunjuknya kepada makna itu dengan jalan bergantian, tidak sekaligus.Misalnya
lafadh ‘ain yang diciptakan untuk beberapa makna.Yakni mata untuk melihat, mata
air, dan lain sebagainya.Bisa dikatakan penggunaan kepada arti-arti tersebut
adalah tidak sekaligus (Yahya, 1986:254).
a.
Contoh lafadz
Muradif
Dalam
al-Qur’an seorang pembaca akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti
berikut :
1) Al-khauf dan khasyah
artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah
menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat
makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“dan orang-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“dan orang-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah
dikhususkan hanya untuk Allah SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah
memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf berfaedah melemahkan atau dha’if.
2) Asy-syukh dan
al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl dengan
kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun
al-bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut :
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”
Di sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi ilmihi.
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”
Di sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi ilmihi.
3) Hasad dan al-hiqdu
(dengki). Seperti pada contoh berikut :
سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَا كَذَلِكُمْ قَالَ اللَّهُ مِنْ قَبْلُ فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا
“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”
سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَا كَذَلِكُمْ قَالَ اللَّهُ مِنْ قَبْلُ فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا
“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”
4) As-sabil dan at-thariq
(jalan). Seperti pada contoh berikut :
وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”
وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”
b.
Contoh lafadz
Musytarak
Contoh
lafadh musytarak yang sering kita jumpai dalam surah al-Baqarah : 288 adalah
sebagai berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
Lafadh quru’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa Arab bias
berarti suci dan bias pula berarti masa haidh.Oleh karena itu, seorang mujtahid
harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui arti yang dimaksudkan
oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadhquru’
tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa
suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats
pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa arab ma’dudnya
harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah
mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh
tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing
quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.
3.
Impilkasi
Hukum dan Kaidah-kaidahnya
a.
Dilalah Muradif
Kaidah yang berkaitan dengan muradif, jumhur ulama’
menyatakan bahwa mendudukkan dua mmiradif pada tempat yang lain diperbolehkan
selama hal itu tidak dicegah oleh syari’. Kaidahnya adalah sebagai beikut
:
ايقاع المترادفين فى مكان الاخر يجوز اذا لم يقم عليه مانع شرعى
“mendudukkan dua muradif pada tempat yang sama diperbolehkan jika tidak ada mani’ syar’iy.”
“mendudukkan dua muradif pada tempat yang sama diperbolehkan jika tidak ada mani’ syar’iy.”
Al-Quran adalah mukjizat baik dari sudut lafadh maupun
artinya.Oleh karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiyah
mengatakan bahwa takbir dalam shalat tidak diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”,
sedang Syafi’iyah hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar”
sedangkan Hanafiyah memperbolehkan semua lafadh yang semisal dengannya, seperti
“Allahul A’dhom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
(https://rudien87.wordpress.com/2010/11/10/ta%E2%80%99wil-dan-nasakh-muradif-dan-musytarak/
diakses pada 30 Maret 2016).
b.
Dilalah
Musytarak
Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur ulama’ dari golongan
Syafi’iyah, Abu Bakar dan Abu ‘Ali al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan
musytarak menurut arti yang dikehendaki, atau berbagai makna.Kaidahnya :
استعمال المشترك فى معنييه او معا نيه يجوز
“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut dua atau beberapa arti itu diperbolehkan.”
Alas an mereka berdasarkan pada surah al-Hajj : 18 sebagaimana berikut :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut dua atau beberapa arti itu diperbolehkan.”
Alas an mereka berdasarkan pada surah al-Hajj : 18 sebagaimana berikut :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud
apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung,
pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada
manusia?dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan
Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya.
Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”
Lafadh yasjudu bisa diartikan menempelkan dahi ke bumi, bias
diartikan tunduk. Dan seperti pada surah al-Ahzab : 56 sebagaimana berikut
:
إن الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه
وسلموا تسليما
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Arti lafadh yushalluuna bila datang dari Allah berarti
memberikan rahmat, bila dating dari malaikat berarti memintakan ampunan
(istighfar) dan bila dari manusia biasa berarti do’a.
Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan
al-Bashri dan ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh
musytarak untuk dua atau beberapa maknanya itu tidak diperbolehkan (Yahya,
1986:257-258).
4.
Kesimpulan
Berdasarkan makalah di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan
sebagaimana berikut :
Yang dimaksud muradif adalah yang memiliki arti satu, akan
tetapi memiliki beberapa lafadh. Sedangkan yang dimaksud musytarak adalah yang
memiliki lafadh satu, akan tetapi memiliki arti lebih dari satu;
Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadh muradif dan musytarak,
hal utama yang harus diperhatikan adalah siyaqul kalamnya;
Kaidah yang berkaitan dengan muradif, jumhur ulama’ menyatakan
bahwa mendudukkan dua mmiradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal
itu tidak dicegah oleh syari’;
Dalam penggunaan lafadh
musytarak, jumhur ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar dan Abu ‘Ali
al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki,
atau berbagai makna.Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan
al-Bashri dan ulama’ lainnya berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh
musytarak untuk dua atau beberapa maknanya itu tidak diperbolehkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mudzakir
AS, 1992.Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Terjemahan, Jakarta: Pustaka Litera
AntarNusa.
Shiddiq, Mahfudh, 1992. Ibanatun Nathiqi Fi Ilmil Manthiqi, Jepara: t.p.
Yahya, Mukhtar, 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Bandung: Al-Ma’arif.
Shiddiq, Mahfudh, 1992. Ibanatun Nathiqi Fi Ilmil Manthiqi, Jepara: t.p.
Yahya, Mukhtar, 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Bandung: Al-Ma’arif.
No comments:
Post a Comment